Sabtu, 22 November 2014 0 comments

Jabatan = Amanah. Amanah = Tanggung Jawab

"Wah, kamu calon Ketua BEM, nih".
"Lu bakalan jadi Ka.Dept (Kepala Departemen) Y dah".
"Kayaknya sampeyan bakalan jadi Ka. Div (Kepala Divisi) Z, bro!"

Yap, pembicaraan seperti di atas santer terdengar akhir-akhir ini--dan mungkin juga di tahun-tahun selanjutnya. Isu tentang peralihan jabatan memang isu yang menarik untuk dibahas, khususnya untuk orang-orang yang terlibat dalam suatu organisasi. Berbicara tentang peralihan jabatan, saya jadi ingat cerita dari Ibu dalam suatu perbincangan ringan dengannya pada beberapa kesempatan.

Di beberapa perbincangan, Ibu, yang mantan seorang kepala kantor perwakilan provinsi X di Jakarta sering bercerita pengalamannya saat menjabat. Namun, dalam konteks ini, pembicaraan yang relevan adalah saat ia memasuki masa pra-lengser jabatan. Kala itu Ibu mendapatkan suatu "mosi tidak percaya" dari anak buahnya yang intinya adalah bahwa Ibu  memimpin dengan "tidak becus", "tidak transparan", dan sebagainya yang intinya buruk-buruk, deh. Bahkan sampai ada petisi untuk turun dari jabatan sebelum waktunya yang ditanda tangani oleh hampir seluruh anak buahnya--hanya satu orang yang tidak bersedia tanda tangan--yang kemudian petisi tersebut dikirimkan kepada Ibu saya. Menanggapi situasi tersebut Ibu tetap santai karena merasa mendapat perlindungan dari orang-orang yang lebih "atas" serta terbukti tidak melakukan tindakan-tindakan yang telah dituduhkan kepadanya. Setelah dilakukan riset sedemikian rupa, didapatkan data bahwa terdapat satu atau beberapa orang--saya lupa--yang mendalangi aksi ini. Diketahui bahwa "mereka" ini berambisi untuk mengisi jabatan kepala kantor dan jajarannya. Bahkan "mereka" sudah menyiapkan atau memplot orang-orang yang akan mengisi kursi-kursi jabatan yang ada

Di sinilah letak menariknya. Hari demi hari berlalu dan pergantian kepemimpinan akhirnya terjadi secara wajar di mana orang yang diajukan oleh kantor pusat di daerah X yang kemudian mengisi jabatan kepala di kantor perwakilan di Jakarta--bukan oleh "mereka". Lalu "mereka" akhirnya tidak jadi mendapat kursi-kursi yang sebelumnya telah diplot. Mirip peribahasa "Sudah gagal tertimpa tangga pula".

Dari hal ini Ibu mewanti-wanti saya bahwa "Jabatan itu jangan diminta." Pesan ini selalu beliau ulang-ulang bila saya berbincang-bincang dengannya, bahkan dalam perbincangan santai sekalipun. Tapi kemudian diam-diam saya menambahkan kalimatnya menjadi
"Jabatan itu jangan diminta. Mintalah hanya kepada-Nya, itupun jika untuk kebaikan bersama."

Hehe. Jadi pesan saya teruntuk teman-teman yang menghadapi pembicaraan seperti pada awal tulisan ini adalah tetap santai dan jangan terlalu geer. Bisa jadi itu salah satu indikator "Fit and Proper Test", lho--ini asumsi ngawur saja. Kemudian ingat pula bahwa jabatan = amanah, sementara amanah = tanggung jawab, yang berarti tanggung jawab tak hanya ada pada Laporan Pertanggung Jawaban di dunia saja, tapi juga di akhirat.

Semoga bermanfaat serta senantiasa menjadi pengingat, baik untuk pembaca maupun saya pribadi.
Salam

Yogyakarta, 22 November 2014
Gandes Mursito Adi
Kamis, 27 Maret 2014 0 comments

Cendekia: Definisi, Plus-Minus, dan Contoh-contohnya

Cendekia? Apa yang dipikirkan jika mendengar kata itu?

Ah, pasti langsung terbayang sosok-sosok cerdas, berintelektual, dan terpelajar atau bahkan mungkin terbayang pula penampilan luarnya yang rapi, klimis (untuk laki-laki), dan anggun (untuk perempuan). Well, tidak salah memang, tapi juga belum tentu benar, lho. Memang sebenarnya definisi cendekia itu apa, sih?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring (dalam jaringan atau online) cendekia didefinisikan sebagai:
1. Tajam pikiran; lekas mengerti (kalau diberi tahu sesuatu); cerdas; pandai
2. Cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar (pandai menggunakan kesempatan); cerdik
3. Terpelajar; cerdik pandai; cerdik cendekia

Nah, dari definisi di atas, tebakan pada tulisan di awal tadi ada benarnya, tapi mengenai penampilan yang rapih, klimis, dan anggun belum tentu. Tidak percaya? Ya sudah, nanti juga akan ketemu orang-orang yang cerdas, berintelektual, dan terpelajar yang tidak selalu rapi.

Lalu, apa untungnya jadi orang cendekia atau cendekiawan?

Wuah, banyak sekali pastinya. Pertama keuntungan dunia, kedua keuntungan akhirat. Combo! Mengapa bisa begitu? Keuntungan dunia bisa didapatkan karena jika menjadi orang yang cerdas, berintelektual, dan terpelajar maka akan menjadi orang yang bermanfaat untuk orang banyak sehingga dalam kehidupan dunia ia akan dihormati di lingkungannya. Efek jangka panjangnya, yang merupakan keuntungan kedua yaitu keuntungan akhirat akan menggiring seseorang kepada surga-Nya.

Akan tetapi cendekiawan pun manusia juga yang membutuhkan orang lain untuk berkarya. Oleh karenanya, untuk memaksimalkan potensi masing-masing yang dimiliki, mereka harus bersinergi. Itulah alasan dibentuknya berbagai forum-forum kecendekiaan. Forum-forum tersebut adalah sebagai wadah dan sarana untuk bertukar dan berbagi pikiran, silaturahmi, dan sebagainya. Forum-forum ini terdapat di hampir seluruh jenjang pendidikan. Di SD, SMP, dan SMA ada banyak forum untuk para cendekia berkarya. Apalagi saat di kampus, wah, bertebaran deh sarananya. Karena banyaknya forum, akhirnya ada peminatan terhadap suatu bidang tertentu seperti pendidikan, sains, sosial, hukum, hingga rekayasa.

Berhubung saya kuliah di bidang teknik atau rekayasa, di bidang ini ada salah satu forum untuk para cendekia berkumpul. Forum tersebut adalah Cendekia Teknika atau disingkat CT. Cakupan forum tersebut memang lebih ke arah dunia rekayasa, tapi tidak menutup kemungkinan untuk membahas hal-hal di luar dunia keteknikan. Di forum ini adalah sarana yang baik untuk belajar menjadi cendekia yang baik, minimal memenuhi kriteria cendekia sesuai definisi di atas karena dituntut selalu untuk tepat waktu, bertanggung jawab, dan aktif berkontribusi (tulisan ini juga dalam rangka berkontribusi). Hebatnya lagi aktivitas mengenai anggota-anggota CT di forum selalu dipantau oleh tim dari PSDM (Pengembangan Sumber Daya Manusia) sehingga ada evaluasi nantinya.

Terakhir, karena definisi sudah, plus minus sudah, contoh-contoh sudah, jadi sudah dulu ya tulisan ini. Semoga dapat berguna untuk pembaca.
Jumat, 27 Juli 2012 0 comments

20 Juli 2012

Seperti biasa, akhir-akhir ini alhamdulillah saya dkk. dapat mengisi kebutuhan ruhiyah kami di hari yang istimewa: hari Jumat, salah satu hari besar untuk umat Islam di seluruh dunia. Pada hari ini, teman kami, Ahmad Ibrahim sudah terlebih dahulu melaksanakan ibadah puasa, sedangkan saya, Rebby, dan Akh Dimas (kebetulan yang hadir hanya segitu) mulai melaksanakan ibadah puasa di tanggal 21 Juli. Tapi perbedaan tanggal pelaksanaan puasa untuk kami tidak masalah, selama masih menyembah kepada tuhan yang sama, mengakui nabi yang sama, dan mempunyai kitab yang sama, insyaAllah kita saudara seiman. Lagipula, di pertemuan ini kami tidak secara khusus menyinggung perbedaan tanggal tersebut kok.

Di pertemuan hari ini, Akh Dimas membagikan sebagian ilmu yang didapatnya dari acara "National Leadership Camp 2012", sebuah acara kamp kepemimpinan nasional yang diadakan oleh PPSDMS Nurul Fikri (kebetulan Akh Dimas salah satu manusia yang tergabung di dalamnya). Berikut cuplikan ilmu yang beliau berikan.

Dunia pascasekolah menyenangkan bagi sebagian orang, tapi menyedihkan bagi sebagian yang lain. Ya, bukan hal yang mengherankan karena untuk dapat mengakses pendidikan biayanya semakin mahal. Selain itu, banyak juga mahasiswa yang (mungkin) mengisi waktunya dengan hal-hal yang kurang berguna sehingga bisa dikategorikan ke kategori menyedihkan.

Nah, saat lulus nanti pilihan juga tak kalah sulitnya dengan dunia kampus. Tantangan mahasiswa sekarang terbagi menjadi dua: membuat kaya negeri orang atau negeri sendiri. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa dahsyatnya, tapi sayang potensi tersebut hanya dijual ke luar negeri dan ironisnya produk yang dijual ke negeri lain tsb. setelah diproses sedemikian rupa dijual kembali ke Indonesia dengan harga yang lebih tinggi tentunya. Hmm, miris.

Hal yang cukup menarik adalah perbedaan cita-cita antara "Anak Jakarta" dan "Anak daerah". Anak Jakarta jika lulus kuliah berorientasi untuk bekerja, sedangkan anak daerah cenderung berorientasi membangun daerahnya. Subhanallah. Oleh karenanya, Akh Dimas menekankan pada kami di kesempatan hari ini untuk mengubah paradigma kita dari Individualis menjadi Nasionalis.

Di kesempatan ini, hal yang paling menarik adalah kutipan dari seorang dosen dan peneliti Indonesia yang bernama Warsito Taruno. Beliau sempat mencicipi pendidikan di Jepang dan saat ini menjabat sebagai ketua MITI (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia). "Mahasiswa Indonesia lebih bisa bekerja dan saya percaya dibanding mahasiswa Jepang", begitu kurang lebih perkataan beliau yang dikutip Akh Dimas dan kemudian saya catat. Wah, luar biasa, ternyata kita yang (mungkin) mencap diri kita kalah dengan negara lain belum tentu benar adanya. Tantangan untuk kita berikutnya: membuktikannya. InsyaAllah.

Sekian. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi pengingat untuk saya khususnya dan juga teman-teman yang membaca tulisan ini.

"Makin tinggi pendidikan tidak menjamin kehidupan. Jangan puas di satu kawasan, masih banyak yang lebih baik di kawasan lain".
Rabu, 18 Juli 2012 0 comments

6 Juli 2012

Hari ini bertepatan dengan Pengumuman SNMPTN Tulis yang dimajukan sehari, walaupun begitu alhamdulillah saya masih dapat berkumpul bersama teman-teman dalam kelompok halaqah kami. Sepanjang pertemuan nampak wajah tegang di antara kami karena menjelang pengumuman seleksi. Namun, kami sengaja menutupinya dengan candaan dan saling menyemangati serta mendoakan satu sama lain. Semoga diizinkan oleh-Nya mendapat hasil yang terbaik. Aamiin.

Pada pertemuan ini yang hadir ada lima orang: Ibrahim, Rebby, Yanuar, dan saya serta Akh Dimas tentunya. Di tengah kesunyian Masjid Attin selepas Sholat Jumat, Akh Dimas yang baru saja menjadi penghuni baru Asrama PPSDMS Nurul Fikri (selamat ya, akh!) memberi kami bermacam materi. Hal-hal yang saya sempat catat di antaranya.
  • Mengutip perkataan ahli perang Cina, Sun Tzu, "Ketika bertemu orang, jangan hanya memberi ikan, tapi berilah kail dan keahlian memancing." Kalimat tersebut jelas menasihati bahwa jika ingin membantu orang lain jangan hanya memberi hal yang habis dalam waktu sesaat, melainkan berilah hal yang justru bisa menghasilkan sesuatu.
  • Ketika kelebihan dan kekurangan dipersatukan dalam ikatan ukhuwah akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa, seperti Nabi Musa dengan Nabi Harun serta Mus'ab bin Umair dengan Ummi Maktum. Sebaik-baik ikatan adalah ikatan iman.
  • Jadilah pribadi muslim yang tidak hanya "Di masjid" untuk memperluas wawasan.
  • Jangan mengeksklusifkan diri di kuliah nanti. Fokus dan kenali banyak orang.
  • Jadikan perguruan tinggi di Indonesia sebagai teman, bukan "Musuh". "Musuh" justru dari luar Indonesia, minimal satu kawasan: ASEAN. Syukur-syukur bisa ber-"Musuhan" dengan kawasan yang lebih luas cakupannya.
Kurang lebih sebanyak itu yang sempat saya catat. Namun, ada kata-kata dari Akh Dimas yang ngena banget menurut saya.
"Ga banget, deh, kita sebagai Muslim hanya duduk di masjid, di pojokan, kerjaannya hanya membaca Alquran, pakai baju yang itu-itu saja dan lusuh pula. Kita semestinya menjadi orang-orang yang berprestasi dan menempati pos-pos strategis di bidangnya masing-masing sebagai bentuk dakwah kita."
Sabtu, 30 Juni 2012 0 comments

Tumbuhkan Budaya Malu


1. Malu datang terlambat.

2. Malu karena rekan sibuk melakukan aktivitas.

3. Malu karena melanggar peraturan.

4. Malu untuk berbuat salah.

5. Malu karena bekerja/belajar tidak berprestasi.

6. Malu karena tugas tidak dilaksanakan.

7. Malu karena tidak berperan aktif dalam mewujudkan kebersihan lingkungan.





Diambil dari pesan dinding yang sudah tidak terpakai di sekolah
 
;