"Wah, kamu calon Ketua BEM, nih"."Lu bakalan jadi Ka.Dept (Kepala Departemen) Y dah"."Kayaknya sampeyan bakalan jadi Ka. Div (Kepala Divisi) Z, bro!"
Yap, pembicaraan seperti di atas santer terdengar akhir-akhir ini--dan mungkin juga di tahun-tahun selanjutnya. Isu tentang peralihan jabatan memang isu yang menarik untuk dibahas, khususnya untuk orang-orang yang terlibat dalam suatu organisasi. Berbicara tentang peralihan jabatan, saya jadi ingat cerita dari Ibu dalam suatu perbincangan ringan dengannya pada beberapa kesempatan.
Di beberapa perbincangan, Ibu, yang mantan seorang kepala kantor perwakilan provinsi X di Jakarta sering bercerita pengalamannya saat menjabat. Namun, dalam konteks ini, pembicaraan yang relevan adalah saat ia memasuki masa pra-lengser jabatan. Kala itu Ibu mendapatkan suatu "mosi tidak percaya" dari anak buahnya yang intinya adalah bahwa Ibu memimpin dengan "tidak becus", "tidak transparan", dan sebagainya yang intinya buruk-buruk, deh. Bahkan sampai ada petisi untuk turun dari jabatan sebelum waktunya yang ditanda tangani oleh hampir seluruh anak buahnya--hanya satu orang yang tidak bersedia tanda tangan--yang kemudian petisi tersebut dikirimkan kepada Ibu saya. Menanggapi situasi tersebut Ibu tetap santai karena merasa mendapat perlindungan dari orang-orang yang lebih "atas" serta terbukti tidak melakukan tindakan-tindakan yang telah dituduhkan kepadanya. Setelah dilakukan riset sedemikian rupa, didapatkan data bahwa terdapat satu atau beberapa orang--saya lupa--yang mendalangi aksi ini. Diketahui bahwa "mereka" ini berambisi untuk mengisi jabatan kepala kantor dan jajarannya. Bahkan "mereka" sudah menyiapkan atau memplot orang-orang yang akan mengisi kursi-kursi jabatan yang ada
Di sinilah letak menariknya. Hari demi hari berlalu dan pergantian kepemimpinan akhirnya terjadi secara wajar di mana orang yang diajukan oleh kantor pusat di daerah X yang kemudian mengisi jabatan kepala di kantor perwakilan di Jakarta--bukan oleh "mereka". Lalu "mereka" akhirnya tidak jadi mendapat kursi-kursi yang sebelumnya telah diplot. Mirip peribahasa "Sudah gagal tertimpa tangga pula".
Dari hal ini Ibu mewanti-wanti saya bahwa "Jabatan itu jangan diminta." Pesan ini selalu beliau ulang-ulang bila saya berbincang-bincang dengannya, bahkan dalam perbincangan santai sekalipun. Tapi kemudian diam-diam saya menambahkan kalimatnya menjadi
"Jabatan itu jangan diminta. Mintalah hanya kepada-Nya, itupun jika untuk kebaikan bersama."
Hehe. Jadi pesan saya teruntuk teman-teman yang menghadapi pembicaraan seperti pada awal tulisan ini adalah tetap santai dan jangan terlalu geer. Bisa jadi itu salah satu indikator "Fit and Proper Test", lho--ini asumsi ngawur saja. Kemudian ingat pula bahwa jabatan = amanah, sementara amanah = tanggung jawab, yang berarti tanggung jawab tak hanya ada pada Laporan Pertanggung Jawaban di dunia saja, tapi juga di akhirat.
Semoga bermanfaat serta senantiasa menjadi pengingat, baik untuk pembaca maupun saya pribadi.
Salam
Yogyakarta, 22 November 2014
Gandes Mursito Adi